Seperti yang sudah diumumkan di awal minggu, beberapa Karimuners setuju mengisi long weekend kali ini dengan jalan-jalan ke Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Awalnya, jadwal yang disepakati adalah tanggal 18 s/d 20 Agustus 2006. Masalah transportasi sempat jadi kendala karena tak seorangpun berani meminjamkan mobilnya buat ber-off road, sedangkan untuk mencarter bis/truk, pasti harganya selangit.
Tawaran salah seorang teman (anak UNTAR) yang juga akan berangkat ke Halimun bersama teman-temannya, tidak bisa ditampik, karena betul-betul butuh tumpangan. Tapi ada syaratnya yaitu…..harus datang pagi-pagi ke kampus UNTAR supaya gak kena macet dan tidak kemalaman tiba di Halimun. Yah, sebagai tebengers (tukang nebeng, getoh), harus tahu diri laaah….sudah untung dapat tumpangan gretong, hehehe… Rencananya, mereka akan menyewa truk yang bisa langsung ke Cikaniki.
Untung saja aku menghubungi pihak TNGH mengenai penginapan di sana, karena ternyata semua kamar sudah habis di-booking, bahkan untuk tidur di pendopopun tidak diperkenankan karena merupakan bagian dari ruang untuk penyewa kamar. Sang petugas menyarankan agar kami menginap di homestay di desa Citalahab. Karena ingin sekali ke Halimun, tawaran ini disetujui meski berarti tidak bisa puas menikmati pondok kayu (guest house TNGH). Tapi entah karena rayuanku yang maut, entah rasa iba, entah memang kosong, sang petugas akhirnya memberitahu kalau kami bisa menginap di ruang laboratorium, yang menjadi satu dengan pondok kayu. Cihuuuuy….berarti bisa ‘bermesraan’ dengan pondok kayu, diselimuti kehangatan dan bertemu rombongan lain yang menginap di sana.
Setelah semua biaya dan jadwal kedatangan selesai didiskusikan, aku umumkan kepada peminat Halimun, sehingga pada tanggal 17 Agustus 2006 aku bisa dengan tenang pergi rafting dengan teman-teman kantorku.
Masih di jalan pulang dari rafting, aku mendapat kabar bahwa teman-teman UNTAR memutar haluan ke tempat lain, bukan ke Halimun. Artinya kami harus mencari alat transportasi untuk ke sana. Sumpah, bagiku trip ke Halimun ini merupakan trip tersulit dalam hal koordinasi, bahkan sampai di rumahpun aku masih sibuk meng-sms sana-sini karena selain sulitnya transportasi ke arah Cikaniki, harga penawaran untuk mencarter angkot yang sangat tinggi, juga jumlah peserta yang sedikit sehingga jumlah dana untuk saweran dirasakan tinggi. Belum lagi Rini yang katanya mau ikut ternyata harus bekerja pada tanggal 18 Agustus, Rima yang sulit diminta konfirmasi dan Dina yang semangatnya meledak-ledak tetapi mendadak sulit ditemukan walaupun sudah aku coba hubungi beberapa “teman dekatnya”L. Aku dan deen@ hampir saja membatalkan trip ini ketika tiba-tiba sekitar jam 23:30 Rini memberi usulan agar trip ini dirubah menjadi Sabtu-Minggu, karena niat sebenarnya kan hanya ingin menginjakkan kaki di Halimun walaupun berarti tidak bisa mengeksplor terlalu jauh dan lama.
Akhirnya, setelah mempertimbangkan kondisi tubuhku dan deen@ yang masih loyo setelah rafting dan trekking kemarin, lalu melakukan koordinasi dengan petugas untuk masalah penginapan dan angkot, disepakatilah jadwal perjalanan ke Halimun pada tanggal 19 & 20 Agustus 2006, dengan peserta yang confirm ikut adalah:Aku, deen@, Rini, Rima dan Uttie. Cukup sedikit untuk perjalanan yang jauh, tapi mau bagaimana lagi karena teman-teman lain tidak bisa bergabung meskipun sudah dirayu sedemikian rupa. :p
Maka, jadilah tanggal 18 Agustus merupakan hari istirahat bagiku dan deen@. Tapi pagi-pagi buta, mendadakDina menghubungiku melalui HP temannya dan langsung ‘nyerocos’ bagai air bah di musim kemarau *hiperbol*,memberitahukan bahwa dia sudah berada di pos Kabandungan dan siap menunggu dijemput. Aku yang saat itu masih belum bisa mengumpulkan ‘nyawa” dari tidur lelapku, hanya bisa menjawab dan memberitahukan dengan singkat tentang perubahan rencana. Benar-benar sulit mem-block air bah kalimat dari bibir sang ibu guru ini. Rasa haru di kedua belah pihakpun tak terbendung karena kami tidak bisa jalan bareng sesuai rencana, hiks…..
Hari ke-1
Sabtu, 19 Agustus 2006
Meeting point kami adalah terminal luar kota Kampung Rambutan jam 07:00. Pagi-pagi sekali Uttie sms bahwa dia sedang on the way ke sana dengan membawa perbekalan. Untuk trip ini aku menugaskan Uttie(yang baru pertama kali ikut jalan bareng) dan Rini untuk berbelaja perbekalan karena tanggal 17 kemarin mereka tidak ada kegiatan, heheee…
Jam 6:30 deen@ juga meng-sms bahwa dia dalam perjalanan menjemputku. Beruntung ada kijang menginap di rumahnya sehingga bisa dimanfaatkan untuk mengantarkan kami ke Kp Rambutan.
Jam 6:48 Rini menghubungi aku karena dia sudah tiba di Kp Rambutan sedangkan Rima sudah duduk nyaman di ruang tunggu terminal. Maka aku minta Rini membantu Uttie mengangkat perbekalan. Sekitar jam 7:30 akudan deen@ tiba di sana dan bertemu dengan teman-teman perjalanan. Sebenernya aku dan deen@ bisa datang lebih cepat kalau si kijang tidak melenceng mencari rumput sampai ke Cibubur *alasan*.
Segera kami angkut perbekalan dan menaiki bis jurusan Jakarta-Sukabumi. Hiruk pikuk yang kutakutkan ternyata tidak terbukti karena meskipun long weekend, suasana terminal ini justru lengang, mungkin kepadatan terjadi pada tanggal 16 atau 17 Agustus. Setelah menunggu sekitar ½ jam, tepat jam 8:00 bis Langgeng Jaya melaju meninggalkan Kp Rambutan. Perjalanan diisi dengan cerita-cerita ringan yang menghibur dan cerita pengalaman deen@ tentang acara jalan-jalannya tanggal 17 lalu ke Javana Spa dan Bodogol bersama beberapa Karimuners seperti Nana, Nuning, Fitri, Dewi, Jimmy & Leo.
Ada kemacetan di beberapa titik tapi tidak terlalu berarti, karena kami tiba Parung Kuda tepat jam 10:00. Sayangnya angkot yang kami carter masih dalam perjalanan, jadi kami isi waktu menunggu dengan berbagai hal. Jam 11 kurang akhirnya angkotpun datang. Tidak seperti angkot yang aku bayangkan, ternyata angkot carteran ini berupa L-300, jadi sangat luas untuk kami berlima. Setelah loading barang-barang, kami minta sang empnya L-300 (Pak Nanang) untuk berhenti di tempat makan karena himbauan perut yang tidak bisa diajak kompromi.
Di warung makan kecil, makanan yang disajikan berupa empal daging, tempe orek, sayur sop yang masih hangat plus sambal terasi, langsung disikat tanpa basa-basi. Bukan hanya kami yang asyik melahap makanan,Pak Nanang dan asistennya juga ikut khusu’ menikmati makan siang yang kepagian ini J. Jam 11:30, dengan perut nyaman dan jiwa tenteram, kami siap memulai perjalanan menuju Cikaniki-TNGH dengan asisten Pak Nanang sebagai pengemudi.
35km pertama, jalan yang kami lalui masih beraspal mulus dan berliku dengan suguhan pemandangan yang indah meskipun di beberapa tempat menampakkan tanda kekeringan dimana aliran sungai menyusut, tanaman yang tidak terlalu menghijau dan debu yang seakan riang menyambut kedatangan kami. *yaaah….kita kan dah mandi lowhL…*. Jam 12 lewat tibalah kami di Pos Kabandungan yang merupakan kantor administrasi TNGH yang juga menyediakan kamar-kamar untuk para pelancong. Di sana kami hanya sebentar, untuk melaksanakan shalat saja, tapi selesai shalat kami sempatkan untuk berfoto-foto. *gak mo rugi kaleeee….*
Setelah siap semuanya, perjalanan kami lanjutkan. Jalanan beraspal ini sudah mulai tidak mulus sampai akhirnya selepas desa Cipeuteuy kami bertemu dengan jalan bebatuan yang panjang berliku menuju ke Cikaniki dengan di kiri-kanannya terdapat beragam pemandangan, dari mulai kebun jagung, cabai, kubis, ilalang, bukit, jurang dll. Jalan bebatuan ini hanya cukup untuk dilewati satu kendaraan sehingga jika berpapasan dengan kendaraan dari arah lawan, salah satunya harus mengalah dengan mundur atau menepi sekali ke pinggir jalan. Selama perjalanan ini kami berpapasan dengan 5 atau 6 buah kendaraan sehingga agak lama juga harus mengalah untuk memberi jalan kepada mereka. Untuk kondisi jalan seperti ini memang dibutuhkan kendaraan yang tahan banting dan pengemudi yang lihai, dan syarat itu telah dipenuhi oleh angkot L-300 ini dan sang pengemudi, asisten Pak Nanang.
Menurut informasi dari Pak Nanang yang duduk di sebelah asistennya, meskipun banyak pelancong berkunjung ke Cikaniki, jalanan ini sengaja tidak diaspal agar dapat menghambat niat manusia-manusia tidak bertanggungjawab untuk mencuri kayu. Alam dan isi TNGH ini harus diselamatkan karena mata air yang keluar dari gunung Halimun merupakan pusat dari sungai-sungai yang mengalir ke Sukabumi, Bogor dan kota-kota lain di Jawa Barat. Jadi bisa dibayangkan jika kerusakan alam terjadi di Gunung Halimun, bagaimana nasib alam dan penduduk di bawah gunung ini?
Ketika bertemu dengan jalan bercabang, Pak Nanang memberitahu bahwa jalan tersebut menuju desa Ciptagelar dengan Abang Anom sebagai ketua adatnya yang memimpin desa agar tetap memegang teguh ajaran leluhur untuk melestarikan alam dan budaya. Setiap setahun sekali pada masa panen padi mereka mengadakan upacara adat ‘Serentaun’ yang dihadiri oleh para pejabat & selebritis. *Tapi selebritis-selebriti yang berlima ini, tetap nekad loh datang ke Halimun walaupun serentaun sudah lewat, hehehee….*
Masih di atas jalanan bebatuan ini kami berpapasan dengan Pak Bostom, sang petugas yang selama ini jadi penghubungku. Maka transaksipun dilakukan di perjalanan ini, khawatir tidak bertemu lagi karena beliau juga sedang bertugas mengantar rombongan pelancong lainnya. Hehee….transaksi di tengah jalan dekat hutan pula, kayak transaksi ‘itu’ aja yaaa…. J
Perkiraanku, kami akan tiba di Pos Cikaniki sekitar jam 16:00, tapi dengan cara mengemudi yang canggih dan kendaraan yang ‘bandel’ ini ternyata kami tiba lebih awal yaitu jam 14:30. Guest House yang berbentuk pondok kayu dengan 3 kamar tidur, ruang tengah, dapur & 2 kamar mandi, pendopo yang luas dan ruang laboratorium di sebelahnya tidak jauh berbeda keadaannya dengan pertama kali aku kunjungi pada awal September 2004 lalu. Di tempat parkir ada beberapa buah kendaraan tapi mereka akan segera meninggalkan Cikaniki dan tamu-tamu baru akan segera datang.
Setelah loading barang dan berkenalan dengan calon pemandu, juru masak dll kami berembug untuk menentukan wisata mana yang akan kami pilih untuk waktu yang hanya semalam di sini. Tak berapa lama kemudian, Pak Bostom yang tadi bertemu di tengah jalan tiba-tiba hadir di antara kami dan memberi masukan mengenai tempat-tempat yang bisa dikunjungi. *walah paaaak…..cepat kali sudah ada di cikaniki*. Rupanya dia naik motor sehingga cepat sampai di sana kembali. Melihat perbekalan kami yang banyak (direncanakan untuk 10 orang siiih…) dan mengingat perjalanan yang jauh, Pak Bostom mengusulkan agar kami memperpanjang liburan sampai hari Senin sehingga banyak tempat bisa dieksplor. Sempat bimbang dan tertarik sih tapi karena Seninnya Rima harus bekerja, kami putuskan sesuai rencana semula (2 hari).
Akhirnya kami sepakat bahwa sore ini akan diisi dengan soft trekking ke Canopy Trail sekaligus naik ke atasnya. Mula-mula, pak petugas tidak merekomendasikan canopy trail karena selain dalam perbaikan, kunci gembok pintu canopy tidak mereka pegang. Tapiiii…jangan remehkan para perempuan ini dalam merayu karena tanpa kerlingan matapun akhirnya sang petugas bertekuk lutut dan mengijinkan kami bertandang ke canopy trail ;).
Melalui loop trail di belakang pondok (guest house), ber-enam dengan sang pemandu (Pak Dedy), kami telusuri jalan setapak menuju canopy trail. Tidak terlalu lama kok hanya sekitar 10 menit trekking maka sosok canopy trail sudah terlihat. Benar saja, pintu pagarnya digembok dengan kokoh, tapi selayaknya anak-anak bengal yang tidak mau kehilangan momen indah di atas sana, tanpa ragu kami langsung memanjat pintu pagar dan menaiki anak-anak tangga terbuat dari besi menuju canopy trail. Peraturan melarang untuk melintasi canopy trail lebih dari 3 orang, maka kloter pertama adalah Rini dan deen@ ditemani Pak Dedy, sedangkan aku, Rimadan Uttie terpaksa harus sabar menunggu giliran. Tapi yang ditunggu ternyata rada-rada tak tahu diri dweh, karena mereka asik foto-foto di atas canopy trail, apalagi begitu melihat Owa Jawa yang berlompatan di atas dahan-dahan pohon tinggi, semakin mereka lupa bahwa kami masih menunggu giliran di bawah L. Begitu ada isyarat dari Pak Dedy bahwa kami bisa bergabung dengan kloter pertama, serta merta aku, Rima dan Uttiememanjat pintu pagar dan berlarian riang menaiki tangga. Tak lupa, foto-foto sebagai bukti bagaimana bengalnya kami. Kalau tim ke Kawah Ratu aku namakan Tim Nekad, maka tim ke Halimun ini cocok dinamakan Tim Bengal, heheee….
Sesampainya di canopy trail, kami juga harus satu per satu melintasinya atau jaga jarak *kek metro mini yak*supaya tidak terlalu terasa goyangannya. Di ujung sana Rini dan deen@ masih asik berfoto narsis *huh, bikin sirik ajah*. Tapi ternyata mereka berbuat itu hanya untuk meledek kami karena begitu kami bergabung dengan mereka, kami juga dapat bagian difoto dengan kamera deen@. Semuanya kebagian tugas sebagai model dan fotografer. Biar adil, hehee….
Benar juga bahwa canopy trail sedang mengalami kerusakan karena hanya satu canopy saja yang diperbolehkan kami lintasi, 2 lainnya yang bisa menuju ke kebun teh, dilarang. (Beruntunglah aku yang pada 2004 lalu bisa melintasi semua canopy, heheee). Maka kami puas-puaskan berada di atas sana sampai langit terlihat mendung. Pinginnya sih berlama-lama di atas sana tapi mengingat ada objek lain yang harus dikunjungi, satu per satu dan perlahan kami turun, dan tentu saja lagi-lagi harus memanjat pintu pagar supaya bisa keluar.
Meskipun rintik hujan mulai turun tapi kami tetap bertekad ke Curug Macan. Jalan yang kami lalui harus melewati pondok kayu bagian depan baru kemudian turun menuju jembatan kayu dan menyusuri jalan bebatuan. Di beberapa tempat kami harus berhenti karena ada objek-objek menarik untuk difoto, seperti jamur unik yang menempel di lereng bukit. Sekitar 15 menit kami berjalan di jalan bebatuan kemudian menuruni jalan yang sangat kecil dan terjal menurun menuju curug. Bahkan saat melewati pohon tumbang, kami harus memanjat batang pohon tersebut agar bisa menyeberang. 2 tahun lalu waktu ke curug ini, batang pohon itu sudah ada, berarti awet sekali yah karena belum juga rapuh.
Setelah perjalanan dan usaha yang lumayan keras apalagi bagi deen@ yang masih terpincang-pincang sehingga beberapa kali harus digandeng, tibalah kami di Curug Macan. Kenapa dinamakan curug macan? Konon, dahulu banyak macan yang mampir ke curug ini untuk mandi atau sekedar minum. *untung waktu kami datang, para macan lagi rapat di hutan, jadi sepi deh, hehee….*. Air yang melimpah ruah dan bening dengan hiasan bebatuan merayu kami untuk menceburkan diri di dalamnya. Maka bak dikomando kami berbarengan meniti bebatuan menuju air terjun dan merasakan sejuknya sapuan air di kaki-kaki kami yang kering. Berfoto dengan bermacam gaya, menceburkan diri sambil leyeh-leyeh bahkan meminta Pak Dedy untuk menjepret kelakuan kami sampai sadar bahwa hari mulai gelap dan sang guntur tak henti-henti bergemuruh. Mengingat esok hari juga berniat mengunjungi curug ini lagi, maka kami sudahi kunjungan sore itu tanpa bermain-main lansung di bawah air terjunnya. Dengan T-Shirt dan celana yang basah terkena air kami kembali ke pondok kayu melalui jalan yang sama.
Sesampainya di pondok kayu, bergantian kami membersihkan diri. Di bangunan kantor dan laboratorium ini terdapat 2 kamar mandi dan 1 dapur. Karena kami sudah memberikan bahan mentah untuk dimasak, maka selepas shalat maghrib kami menyantap makanan hangat yang rasanya cukup oke untuk kondisi seperti ini dan dimasak oleh salah seorang petugas di sana; nasi putih, sup sayuran, tumis korned beef dan keringan tempe. Tidak berapa lama kemudian suatu rombongan besar dengan 2 mobil Panther tiba. Mereka adalah sebuah keluarga besar yang menyewa kamar-kamar di pondok kayu. Suasana yang tadinya lumayan hening mendadak ramai karena rombongan ini berisi bocah-bocah dari usia SD sampai SMU.
Selesai makan malam dan shalat Isya, aku duduk-duduk di dapur sambil menemani Pak Dedy makan. Di dapur itu juga ada salah seorang anak IPB yang sedang melakukan penelitian tentang cicak. *lah, jauh-jauh ke cikaniki buat nyari cicak, di rumah saya aja maaas….;)*. Saat itu, Andre, sedang menanak nasi, sedangkan yang lain berada di balkon. Tahu bahwa mereka tidak ada kegiatan malam itu, kami mengundang mereka untuk bergabung melihat jamur fosfor. Tapi ketika kami sudah siap dan mulai jalan ke arah belakang pondok kayu, mereka tidak muncul juga. *Hihiiii….pada malu kali yaaa….., padahal tadi udah kenalan sama semua lowh……*
Jalan yang kami lalui sama dengan jalan menuju canopy trail. Bedanya tadi jalan di sore hari sehingga masih kelihatan pemandangan sekitarnya, sekarang di malam hari yang gelap gulita. Sebagai penerang, Pak Dedy membawa lampu besar dan deen@ membawa senter, jadi cukup untuk membuat kami tidak tersandung atau meraba-raba. Tepat di bawah pohon dekat canopy trail kami berhenti karena di situlah habitat jamur fosfor ini. Dan begitu alat penerangan dipadamkan, terlihatlah cahaya-cahaya kecil berserakan di sekitar kami yang keluar dari jamur-jamur yang tumbuh di atas ranting-ranting pohon di bawah canopy trail ini. Sayang, aku lupa nama pohonnya karena Pak Dedy selalu menginformasikan dalam bahasa latin. *yang pasti siy bukan homo soloensis, xixixiii..*. Oya, jamur-jamur ini hanya bisa tumbuh di ranting pohon ini bukan di pohon lain, maka dari itu, kami hanya berhenti di sekitar pohon tersebut. Jamur-jamur ini mengeluarkan fosfos yang dapat bersinar di kegelapan malam. Dengan sinar bening berlatar belakang hitamnya malam jamur-jamur ini amat menakjubkan mata kami sehingga tergerak untuk memotretnya. Maka, kami mengumpulkan ranting-ranting berjamur tersebut dan menelaahnya dengan senter lalu memotretnya. Tadinya, deen@ berniat membawanya ke pondokan kami, hanya untuk keperluan pemotretan, tapi dengan suara halus namun mengandung ketegasan Pak Dedy melarang kami sehingga kami memotretnya langsung di lokasi dengan penerangan senter. Kagum kami pada Pak Dedi yang berdedikasi tinggi, sehingga kami menduga bahwa nama aslinya adalah Dedikasi.*alaaah….ngarang*
Selesai mengamati jamur fosfor, kami kembali ke pondokan. Tapi kami tidak menemukan rombongan Andre, Biyan dan Ryan. Rupanya mereka telah berangkat ke Citalahab. *yaaaa….gak ketemu lagi deh, yang ada rombongan keluarga ityuh*. Malam itu tidak ada kegiatan yang asyik jadi kami bergerombol menonton final ‘Indonesian Idol’. Walaupun di gunung, jauh dari rumah, tetap update dunia selebriti dwonks, hehehe….. Usai menyaksikan ‘Indonesian Idol’ yang hasilnya mengecewakan, karena kami mendukung Dirly, satu per satu kami merebahkan diri di dalam kantung tidur (sleeping bag) yang hangat. Bayangan bahwa kami akan kedinginan tidak terjadi karena ruangan lab ini berdinding kayu dan kami bak kepompong yang meringkuk nyaman di dalam kantung. Namun sekitar jam 23 lewat aku mendengar dan melihat rombongan baru datang diantar oleh supir yang tadi sore mengantarkan kami kemari *hmmm…kuat juga tuh bocah mondar-mandir ke sini*.
Hari ke-2
Minggu, 20 Agustus 2006
Pagi-pagi dibangunkan oleh berbagai macam suara binatang hutan. Asik sekali rasanya ada ‘weker’ alam di telinga kami. Segera bangkit untuk shalat subuh, lap-lap badan karena akan trekking dan niat basah-basahan di curug, lalu makan pagi dengan menu nasi putih, mie goreng dan sosis sapi.
Sekitar jam 7:30, mulailah perjalanan kami di hari kedua yang diawali dengan menyusuri loop trail di belakang pondok dan lagi-lagi melewati canopy trail namun langsung menuju hutan. Hutan yang kami kunjungi merupakan apotik hidup karena banyak terdapat tumbuhan yang berguna bagi manusia, baik sebagai obat maupun tanaman survival, antara lain tanaman patat yang daun mudanya jika ditumbuk halus dapatmenyembuhkan flek-flek hitam bekas jerawat di muka *wah, boljug niy dibawa pulang J*. Tapi jangan harap, karena Pak Dedikasi ini sangat teguh beriman *alaaah….*. Lalu ada juga tanaman Ela *bukan Elia yaaaa..:)*, yang manfaatnya ada pada bijinya yang bergantung ranum dan mirip buah jali-jali dari Betawi. Bila biji tanaman Ela ini ditumbuk halus dapat menyembuhkan luka akibat digigit ular dengan cara dibalurkan di atas luka gigitan ular. Jika tumbukannya berubah warna menjadi hitam maka artinya bisa ular sudah keluar. Adajuga tanaman yang daunnya seperti talas tapi batang mudanya bisa dimakan yang rasanya mirip belimbing wuluh, berguna jika kita kehausan di hutan dan sulit memperoleh air. Serta bunga indah berwarna merah mirip kembang sepatu. Tapi Pak Dedy bilang justru bunga itu tidak bisa dimanfaatkan, karena yang kelihatan indah belum tentu baik bagi manusia. *duh daleeem..*. Pokoknya, untuk survival di hutan, makan saja tanaman/bebuahan yang dimakan oleh binatang, karena berarti aman buat kita meskipun rasanya tidak yang seperti kita harapkan. *iya juga siy, masak makan daun berharap rasa kwe tiau goreng, hahahaaa..*
Di setiap 500 meter ada tempat istirahat berupa saung yang dikelilingi bangku-bangku, yang walaupun keadaannya sudah tidak baik lagi tapi lumayan untuk melepaskan lelah. Jangan terlalu lama beristirahat di situ karena banyak nyamuk yang riang mencium darah orang kota J. Sesuai saran Pak Dedi aku memakai kacamata supaya kornea mataku tidak diserang nyamuk-nyamuk jahil ini karena mereka suka dengan warna hitam. Baru aku sadar bahwa semua anggota Tim Bengal memakai kacamata (karena minus) kecuali aku, jadi cepat-cepat kukenakan sun glasses-ku. Jalan yang licin dan terjal membuat kami bahu membahu bergandengan tangan agar tidak ada korban terpeleset, apalagi deen@ yang kondisi kakinya masih sering ‘bergoyang gemulai’ hasil trekking ke Bedogol kemarin. Kami juga berpapasan dengan rombongan kecil lainnya yang dipandu oleh penduduk setempat, pasti mereka menginap di desa Citalahab.
Di sepanjang jalan, dengan kecermatan matanya, Pak Dedi menyelamatkan tanaman-tanaman yang tidak berada di habitatnya, entah dikarenakan keisengan fauna setempat atau karena ulah manusia (mudah-mudahansih bukan). Hal itu semakin membuat kami kagum akan pengabdiannya terhadap hutan dan membuat kami semakin yakin bahwa nama aslinya adalah Dedikasi *maksa yah?*. Beliau juga menjelaskan hal-hal menarik lainnya antara lain bahwa pemerintah sudah menetapkan hutan-hutan dan gunung-gunung lain di sekitar Halimun, termasuk Gunung Salak dengan Curug Cinangka-nya, dimasukan ke dalam wilayah TNGH. Sehingga wilayah TNGH menjadi lebih luas dan pelestarian hutan di Jawa Barat dapat lebih dimaksimalkan. TNGH juga membagi hutan-hutan di lingkungannya menjadi 3 bagian:
- Zona Pemanfaatan, seperti kebun teh Nirmala yang mendatangkan hasil dan menyerap tenaga kerja di sekitar,
- Zona Rimba, wilayah hutan yang lebih dalam daripada zona pemanfaatan,
- Zona Inti, wilayah hutan yang tidak boleh dijamah oleh manusia kecuali oleh petugas dan untuk keperluan penelitian karena merupakan habitat harimau yang diperkirakan hanya tinggal 7 ekor lagi.
Berbicara mengenai penelitian, di sepanjang jalan kami lihat banyak batang pohon yang diberi pita warna warni. Menurut Pak Dedy, itu berarti pohon tersebut sedang diteliti dan setiap peneliti menggunakan warna untuk membedakan.
Lepas dari hutan, kami bertemu dengan lapangan hijau tempat penduduk desa Citalahab bermain sepak bola, berdampingan damai dengan sawah menguning dilatarbelakangi oleh kehijauan hutan. Selesai foto-foto kami melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan sebuah tenda di camping ground yang ternyata dihuni oleh Andre dkk. *oooh…ternyata semalam menghilang tuh karena mau kemping toh?*. Setelah basa-basi dan berpesan supaya jangan membuang sampah sembarangan kami lanjutkan langkah memasuki desa Citalahab. Dari kejauhan terdengar suara-suara rombongan lain yang menginap di sana. Aku membatin, berarti inilah desa yang direkomendasikan oleh Pak Bostom ketika kamar-kamar di Pondok Kayu sudah penuh. Banyak juga anggota rombongan itu dan mereka berjalan berbarengan dengan kami menuju jalan desa ke arah perkebunan teh dimana sebuah truk sudah menanti. Rupanya mereka ‘check-out’ pagi itu dan langsung sibuk menaikkan barang bawaan ke atas truk, sedangkan kami langsung keasyikan melihat hamparan kebun teh yang luas dilindungi barisan pengunungan di kejauhan. Tentu saja pemandangan elok ini tidak kami sia-siakan dan pose seenaknyapun dilakukan karena ternyata hasilnya sangat mencengangkan. Asyik berfoto dan bertrekking membuat kami menolak tawaran rombongan truk untuk menumpang *padahal cowok-cowoknya lumejen lowh…*, karena kami masih ingin menikmati suasana perkebunan teh Nirmala ini dan saling bersenda gurau bahkanPak Dedypun menjadi ‘korban’.
Ketika jalan menikung terdapat tempat istirahat bagi para pemetik teh. Kebetulan sedang kosong jadi kami singgah di sana untuk melepas lelah sambil menikmati makanan/minuman ringan dan menanti kehadiran elang jawa. Dari kejauhan terdengar suara khas elang jawa dan tiba-tiba sebuah noktah hitam melayang di langit biru, semakin mendekat semakin jelas bentuknya, melesat terbang tinggi dan tiba-tiba menukik dan bersembunyi di puncak suatu pohon. Itulah elang jawa yang dinanti. Berdecak kagum kami melihat manuvernya begitu cepat dan sempurna. Dari kejauhan terlihat 4 elang jawa lainnya tapi tidak seperti yang pertama, mereka tidak terbang mendekat ke arah kami.
Mengingat tempat yang dituju lainnya masih jauh, kami cukup puaskan waktu istirahat dan memulai perjalanan lagi. Udara yang mulai panas membuat sebagian dari kami merasa kelelahan sehingga ketika ada truk lewat dan menawari tumpangan, segera kami sambut baik. Ternyata ini adalah truk para seniman dangdut yang semalam “berkonser” di desa sebelah karena di atas truk penuh muatan perlengkapan panggung dan sound system. Tak seorangpun dari kami yang ingin duduk di sebelah sang supir, malah dengan gembira meloncat ke atas truk dan duduk beralaskan sound system *dyuuuh…kapan siy gak pake lompat-lompatan?*. Mengerikan sekaligus mengasyikan duduk di atas truk ini karena kami dapat melihat pemandangan lebih luas lagi, namun mengerikan ketika jalanan menurun dan terantuk-antuk oleh jalan bebatuan. Tapi kengerian kami tidak kentara lowh karena kami dapat menyamarkannya dengan jeritan dan tawa. Cukup lama kami terayun-ayun di atas truk sampai tiba di jalanan yang kami lalui kemarin, menuju Curug Macan.
Ternyata keadaan di sana cukup ramai karena semua rombongan yang menginap di pondok kayu tumpah ruah di tempat ini, dipandu oleh Pak Nandang yang lucu, plus rombongan lain yang kami tidak tahu mereka menginap dimana. Ketika turun dari truk serentak komentar keluar dari bibir mereka; “kirain biduanitanya….eeeh kok turun di curug….” *Yah, biduanita juga manusia kaleee…butuh cibang-cibung di curug, hihihiiii…*
Jalan yang kemarin sore kembali kami jejaki, kali ini agak lebih lancar karena sudah tahu medan. Suara teriakan gembira langsung terdengar ketika kami tiba di sana, dan suasana Curug Macan saat itu benar-benar seperti pasar kaget. Banyak sekali pengunjung yang mandi-mandi, sekedar main air atau hanya menonton keriangan. Karena ada keperluan mendesak, Pak Dedy pamit kembali ke kantor/lab, dan ketika rombongan mulai surut kami segera turun mendapati jernihnya air. Tanpa membuang waktu dan tanpa malu-malu karena badan sudah lengket setelah kepanasan trekking, kami langsung menuju arah curug, minta difoto oleh deen@yang tidak mau ikut basah-basahan. Di bawah curahan air curug kami bergantian merasakan jatuhnya air ke punggung yang kami rasakan bagai dipijit oleh tangan raksasa. Jeritan antara sakit tapi nikmat bersahutan keluar dari mulut kami, dan setiap jeritan mengundang mata-mata pengunjung lain melihat ke arah kami. Bukannya malu, malah makin keras kami berteriak *dasar Bengal….!*.
Sadar bahwa rombongan lainpun ingin merasakan pijatan air terjun, lagipula gigi sudah gemerutuk dan badan menggigil, terpaksa kami sudahi acara basah-basahan ini meskipun hati belum puas benar.
Dengan pakaian basah kami kembali ke pondok kayu, langsung membilas diri dan bersiap menyantap makan siang. Menu makan siang ini sama dengan menu makan malam kemarin; nasi putih, sayur sup dan tumis korned beef. Tadinya kami pikir akan banyak makanan tersisa karena kami hanya berlima sedangkan bekal makanan untuk 10 orang. Tapi ternyata, hanya cemilan saja yang tersisa *ternyata selain bengal, rakus juga yak, hehee…*. Setelah itu melaksanakan shalat Dzuhur, packing, membeli teh nirmala yang telah diolah dan benalu teh sebagai oleh-oleh.
Sekitar jam 13 kami selesai bebenah dan untuk mengisi waktu menunggu kedatangan Pak Nanang yang akan menjemput jam 14:00 kami mengobrol dan berfoto-foto. Tapi karena kami sudah siap lama, diputuskan untuk pulang dengan menggunakan angkot kemarin dan jika bertemu Pak Nanang akan bertukar supir. Maka jam 13:40 kami berpamitan kepada para petugas di sana, dan dengan angkot “Gaul” dan supir yang kemarin kami meluncur pulang. Benar saja, tidak berapa lama kemudian kami berpapasan dengan angkot Pak Nanang lainnya yang membawa rombongan baru. Tapi setelah diskusi yang pendek, kami masih tetap disupiri oleh sang asisten sedangkan Pak Nanang lanjut ke Cikaniki. Dengan alasan ban kurang angin, angkot dihentikan di perbatasan wilayah Bogor dan Sukabumi, yang ternyata di sinilah Pak Nanang dan sang asisten berjanji untuk bertukar mobil. Waktu menunggu ini tidak kami sia-siakan. Angkot kami manfaatkan sebagai property berpose, bahkan sampai naik ke atapnya. Sang supirpun diharuskan ikut menjadi model, dan entah karena banci foto juga atau takut, dia menurut saja, mungkin dia pikir; daripada ‘diapa-apain’ sama Tim Bengal ini, di tengah hutan pula J.
Mulai bosan menunggu, angkotpun dijalankan lagi perlahan. Rima, yang di perbatasan tadi memilih tidur ketimbang berfoto-foto bersama kami, kali ini nekad duduk di atas angkot dan teriakan keasyikan membahana seantero hutan. Kami pikir, dia pasti lagi “ngerumpi” dengan owa jawa yang bergelayutan di pepohonan. Dia bilang, asyik sekali duduk di atas sana, bisa melihat hutan yang dengan lebih leluasa dan merasakan sensasi luar biasa ketika angkot menurun atau menukik tajam.
Di pintu gerbang Cikaniki kami kembali berhenti untuk berfoto-foto lagi. Di sinilah angkot Pak Nanang yang membawa rombongan lain bertemu dengan kami. Lalu kedua angkotpun berjalan beriringan. Tidak seperti skenario awal bahwa Pak Nanang akan berganti menyupiri kami, hingga pos Kabandunganpun dia tak kunjung berganti angkot. Lagipula sang asisten lebih memilih menyupiri kami karena penumpangnya hanya berlima dan terdiri dari para ‘bidadari’ dibandingkan rombongan lain yang isinya sarat penumpang dan banyak cowoknya pula. *memang pintar dia….*
Sekitar jam 19:15 kami tiba di Baranangsiang dan menaiki bis AC menuju UKI-Cawang. Tadinya Rini dan Rimaakan mengambil bis arah Lebak Bulus, tapi karena bis tersebut habis, merekapun bergabung dengan aku, deen@ dan Uttie.
Lama juga kami menunggu bis AC berjalan karena menunggu semua bangku terisi. Dan setelah sarat muatan, akhirnya mulai melaju meninggalkan Baranangsiang menuju Ibukota Negara Republik Indonesia: Jakarta J.
Jam 21 kami tiba di UKI-Cawang, dimana kami harus berpisah satu sama lain. Rini dan Rima langsung ke arah Cilandak, deen@ ke arah Cipinang, Uttie ke arah Slipi dan aku……ke arah rumahku dwonks……, heheee…….
***********
Terimakasih untuk teman-teman seperjalanaku yang nekad berangkat walaupun berjumlah sedikit, perempuan semua, mahalnya biaya yang harus dikeluarkan terutama untuk sewa angkot. Tapi demi cinta jalan-jalan, cinta alam, cinta negeri nan elok ini, dan terutama karena di liburan panjang yang sayang sekali kalau dilewatkan begitu saja, kita berikhtiar sekuat tenaga untuk mewujudkan liburan yang menyenangkan. Semoga di perjalanan lain kita mendapat pengalaman dan teman baru yang lebih mengasyikan. Amin…..